Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Di dalamnya kitabnya, at-Taudhih wal Bayan li Syajarah al-Iman, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bahwa seluruh amalan dan ucapan hanya akan menjadi benar dan sempurna selaras dengan iman dan ikhlas yang ada di dalam hati pelakunya.” (lihat buku tersebut, hal. 73)
Diantara dalil yang beliau sebutkan adalah kedua ayat di bawah ini :
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (QS. Az-Zumar : 65)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka melakukan syirik pastilah akan terhapus segala amal yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam : 88)
Bahkan, puncak keimanan yaitu ucapan laa ilaha illallah tidaklah bermanfaat jika tidak dibarengi dengan keikhlasan. Sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah haramkan neraka untuk menyentuh orang yang mengucapkan laa ilaha illallah demi mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa maksud dari ungkapan ‘mengharap wajah Allah’ adalah dia mengucapkan syahadat itu dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, bukan karena riya’, sum’ah, atau pun kemunafikan (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 97)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61)
Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)
Oleh sebab itu kita juga mengenal bahwasanya para ulama menyebut kalimat tauhid laa ilaha illallah dengan istilah kalimatul ikhlas. Karena di dalam kalimat tauhid ini terkandung ajaran untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata, dan mencampakkan segala peribadatan kepada selain-Nya.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kalimat -syahadat- ini memiliki nama-nama lain, diantaranya ia disebut dengan kalimatul ikhlas. Karena ia mengandung penolakan syirik kepada Allah ‘azza wa jalla serta keharusan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla semata. Oleh sebab itulah ia disebut dengan kalimatul ikhlas. Maksudnya adalah mengikhlaskan/memurnikan tauhid dan memurnikan ibadah serta menjauhi syirik kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Syarah Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 6)
Demikian pula, apabila kita cermati bacaan sholat yang setiap hari kita ucapkan dari surat al-Fatihah, yaitu yang berbunyi ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ sesungguhnya ini juga merupakan dalil yang menunjukkan kepada keutamaan dan urgensi ikhlas.
Kalimat Iyyaka na’budu bermakna ‘kami tidak menyembah kepada siapa pun selain Engkau’ sehingga ibadah itu semuanya hanya boleh dipersembahkan kepada Allah semata, demikian pula isti’anah/memohon pertolongan hanya kepada Allah jua (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 41)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa salah satu faidah dari Iyyaka na’budu ini adalah mengikhlaskan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Karena di dalam kalimat tersebut objeknya disebutkan terlebih dulu, sedangkan dalam kaidah bahasa arab didahulukannya objek bermakna pembatasan. Dengan demikian di dalam kalimat Iyyaka na’budu ini pun telah terkandung makna laa ilaha illallah, dan hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwasanya ibadah tidak akan diterima di sisi Allah jika tidak dibarengi dengan keikhlasan (lihat Ahkam min al-Qur’an, hal. 23)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya menerangkan, bahwa di dalam kalimat ‘Iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian/keikhlasan dalam beragama yaitu mengikhlaskan ibadah dan isti’anah/memohon pertolongan kepada Allah semata (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40)
Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman, “Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan ia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif/menjauhi syirik, mendirikan sholat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5)